Advertise Your Business Here

Thursday, June 2, 2011

Umi Kaltsum: Tuduhannya Yang Tak Berdasar Dan Buah Manisnya

Follow m_syahreza on Twitter

“Kawan-kawan sekalian, kita harus mempertanyakan sosok Prof. Musdah yang kontroversial ini. Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang liberal,” kritik Umi Kaltsum.


Beritanya ramai diperbincangkan di mana-mana, terutama di jagad internet khususnya media sosial. Informasi tersebut saya peroleh dari sebuah posting di Facebook. Seperti biasa saya tidak langsung membuka link yang memuat berita itu. Saya perhatikan dulu redaksi dan nama media online-nya. Ini penting untuk menjaga netralitas saya dalam menilai sebuah tulisan atau berita.

Berita itu dimuat dalam sebuah media online bernama VOA-Islam (Selasa, 31 May 2011) menceritakan tentang seorang mahasiswa yang ‘mengkritisi’ pemikiran dari Siti Musdah Mulia. Nama mahasiswa itu Umi Kaltsum. Iya, mahasiswa UNHAS ini yang menuding dengan serentetan tuduhan ke arah Siti Musdah Mulia. Suasana seminar nasional yang diadakan di Makassar itu seketika berubah menjadi tegang. Siti Musdah Mulia diserang dari segala arah. Umi Kaltsum dan teman-temannya seakan satu suara hari itu untuk memojokkan Siti Musdah Mulia. Saya memperhatikan baris per baris kalimat dalam berita itu yang dimuat di sebuah media online yang memang sering (saya anggap) kurang berimbang. Lalu saya lebih fokuskan lagi untuk menelaah kata-kata yang dilontarkan Umi Kaltsum. Setelah saya tuntaskan membaca berita tersebut, saya diam. Berusaha diam, lebih tepatnya.

Judulnya menurut saya tendensius dan nyeleneh. Tapi tak apalah, itu kan memang media yang mewakili pihak anti-liberalisme. Wajar saya pikir kalau mereka menggunakan kata-kata yang sifatnya menyerang dan menjatuhkan, terlepas dari apa pun maksud dan niat di baliknya. Entah demi menarik keingintahuan pembaca atau ada memang ada maksud lain yang lebih dari sekadar itu. Tapi judul “Pemikiran Liberalnya Dikritisi, 'Ratu SEPILIS' Musdah Mulia Ancam Mahasiswi” ini saja sudah bisa dikatagorikan sebagai upaya pencemaran nama baik. Bukan judulnya ini yang mau saya bahas, melainkan efek dari judul berita itu yang membuat saya tergelitik untuk menulis ini.

Di Twitter, sebuah media sosial yang mana semua orang bisa bebas secara langsung mengalamatkan kata-kata ke seseorang yang ingin dituju, juga seolah-olah tidak mau kalah dengan yang terjadi di Makassar itu. Mereka yang merasa sehaluan dengan Umi Kaltsum seperti tidak rela membiarkan kesempatan yang diberikan oleh Twitter untuk ikut menyerang Siti Musdah Mulia. Kata-kata yang dijadikan senjata oleh mereka apa lagi, selain kata ‘ancam’ yang terdapat pada judul berita yang saya jelaskan di atas. Bahkan berkali-kali saya temukan mereka menjadikan guyonan dan bahan olok-olok kepada Siti Musdah Mulia. Berangkat dari sinilah semua gelembung-gelembung pertanyaan muncul secara sporadis di dalam kepala.

Terlepas dari saya yang memang sudah sejak lama mengagumi pemikiran-pemikiran Siti Musdah Mulia, saya yang sebagai mahasiswa, jujur saja sangat heran ketika ada mahasiswa lain yang bersikap tidak mencerminkan kaum intelektual. Apalagi mahasiswa tersebut, dalam hal ini adalah Umi Kaltsum, seorang muslimah. Tentu seorang muslim yang baik tahu bagaimana memperlakukan tamu. Biar bagaimana pun, Siti Musdah Mulia berada di acara itu atas undangan panitia. Apakah begitu cara dan sikap seorang mahasiswa yang terdidik dalam mengutarakan kritikannya? Tidak tahukah mahasiswa itu bagaimana caranya beretika menyampaikan pendapat, apalagi terhadap orang yang lebih tua dan yang lebih berilmu, pastinya? Seperti itukah seorang muslimah yang hendak bermaksud membela ajaran agamanya? Emosional dalam menyampaikan kritik sehingga tidak terkendali dan keluar dari mulutnya tuduhan demi tuduhan, fitnah demi fitnah yang belum tentu berdasar kebenarannya? Umi Kaltsum mengkritik Amerika, tapi gayanya menuding Siti Musdah Mulia melebihi caranya orang Amerika menyampaikan pendapat. Dia anti-liberalisme, tapi caranya melontarkan tudingan, pemilihan kata-katanya, lebih-lebih dari seorang liberalis yang menurut mereka para anti-liberalisme adalah orang-orang bebas yang tidak mau terikat aturan.

Lalu mereka yang ikut menyerang Siti Musdah Mulia via Twitter. Mereka itu seperti tidak ridho kalau agama yang mereka yakini diutak-atik oleh seseorang bernama Siti Musdah Mulia. Mereka tampil bak pahlawan yang siap mati demi membela agamanya. Tapi haruskah dengan cara seperti itu, mengolok-olok dengan kata-kata yang tidak sopan?

Menurut hemat saya yang minim ilmu dan miskin wawasan ini, apa yang dilontarkan Umi Kaltsum bukanlah sebuah kritikan. Tapi tuduhan dan fitnah yang dibalut sedemikian rupa demi menutupi rasa ketidaksukaannya terhadap Siti Musdah Mulia. Kalau lah memang benar niatnya Umi Kaltsum itu baik untuk mengkritik Siti Musdah Mulia, pasti dia punya cara lain yang lebih baik. Kecuali kalau Umi Kaltsum memang tidak belajar sejarah sama sekali tentang bagaimana rasulullah dan para sahabat dalam menyampaikan pendapat dan masukan. Kalau tujuan Umi Kaltsum itu baik, pasti hasilkan akan baik, karena didasari niat yang baik pula. Tapi sayangnya, cara dia tidak bisa saya anggap baik. Niat baiknya dinodai hawa kebencian yang seperti sudah merasuk sampai ke sum-sum. Ini terasa sekali ketika dia mengatakan, “Kawan-kawan sekalian, kita harus mempertanyakan sosok Prof. Musdah yang kontroversial ini. Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang liberal.”

Wajar saja apabila Siti Musdah Mulia menjawab kata-kata mahasiswa itu dengan tanggapan yang serius. Karena kata-katanya itu sudah keluar dari jalur etika berdiskusi dalam sebuah seminar. Sekadar mengingatkan, Umi Kaltsum ini seorang mahasiswa. Apakah dia lupa bagaimana caranya berdiskusi di ranah formal, terlebih itu adalah acara seminar nasional?

Apa pula dasarnya Umi Kaltsum melontarkan kata-kata seperti itu? Apa karena Siti Musdah Mulia pernah meraih nobel Internasional Women of Courage dari Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice di Washington pada 8 Maret 2007 lalu, dan ia mendapat hadiah Rp 6 miliar, lantas bisa dikatakan sebagai pendukung Amerika? Saya teringat pacar saya yang berkuliah di Australia karena mendapat beasiswa dari pemerintah sana. Kalau dengan cara berpikirnya Umi Kaltsum seperti itu, apakah itu artinya akan men-generalisasi bahwa semua orang yang mendapatkan dana dari negara lain maka dia adalah pendukung negara tersebut? Miris saya kalo mengingat bahwa Umi Kaltsum adalah seorang mahasiswa. Sesempit itu logikanya?

Apa yang dibeberkan oleh Umi Kaltsum pernah saya baca di banyak media yang anti dengan ide dan pemikiran liberalisme agama yang kesemuanya patut dipertanyakan kebenaran dan kejujuran beritanya. Dia Cuma mengutip dari sumber-sumber yang sejenis. Kalau saya jadi Umi Kaltsum dan hendak mengkritik seseorang, saya akan mendedah banyak sumber yang beragam. Kalau orang yang hendak saya kritik itu punya buku, saya lahap buku-bukunya. Ini saya lakukan agar saya punya fondasi yang kokoh dalam mempertahankan argumentasi saya, selain juga akan punya pandangan yang lain untuk perbandingan setiap bacaan-bacaan yang sudah dibaca. Ini penting. Tentu mahasiswa kritis seperti Umi Kaltsum tahu betul bagaimana seharusnya mengkritik, tapi sayangnya, menurut dugaan saya, Umi Kaltsum terlalu menurutkan hawa ketidaksukaannya ketimbang mempertimbangkan untuk ‘menyerang’ dengan persiapan amunisi wawasan, adab dan etika.

Yang juga membuat saya prihatin adalah ketika seringkali saya mendengar suara-suara sumbang yang mengatakan, “Katanya, orang liberal. Kok, enggak menghargai kebebasan orang berpendapat?” Atau, “Ngakunya orang pluralis, tapi dengan orang yang berbeda pendapat, kok, langsung marah?” Jujur, saya gerah dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Bukan karena merasa dipojokkan dengan kalimat tersebut, tapi karena miris kenapa mereka tidak sadar bahwa menghargai perbedaan pendapat, itu bukan hanya kewajibannya orang-orang liberal semata. Semua orang wajib menghargai pendapat, yang berbeda ataupun yang sependapat. Tapi juga jangan lupa, bahwa dalam berpendapat pun juga ada aturannya. Kalau sebuah pendapat itu sudah dibumbui tuduhan tak berdasar, maka itu bisa dikategorikan sebagai fitnah. Dan untuk kasus fitnah, itu ada pasalnya dalam KUHP. Bagi yang melontarkan fitnah dan yang menyebarkannya bisa dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP tersebut. Konyol sekali ketika orang yang diserang dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar, lalu membela dirinya sendiri malah dianggap mengancam. Apa yang dijawab oleh Siti Musdah Mulia sudah tepat pada acara waktu itu. Dia mengerti hukum. Saya kurang tahu dengan Umi Kaltsum dan orang-orang yang mendukungnya, apakah mereka tahu hukum atau tidak, sehingga apa yang dijawab oleh Siti Musdah Mulia itu dianggap sebagai bentuk ancaman lalu dijadikan senjata untuk menyerang kembali dirinya dengan olok-olok dan candaan yang tidak lucu sama sekali.

Dalam kasu ini, saya bisa saja katakan bahwa apa yang dilakukan Umi Kaltsum itu bisa dikategorikan sebagai tuduhan tak berdasar dan bukan sebuah kritikan apalagi pendapat. Tapi saya lebih senang mengatakan apa yang dilakukan Umi Kaltsum itu tidak pantas. Tidak sepantasnya kata-kata yang tak berdasar itu keluar dari mulut seorang mahasiswa muslim, yang bisa jadi juga seorang aktivis dakwah. Seandainya, sesalah-salahnya Siti Musdah Mulia pun, Umi Kaltsum sama sekali tidak berhak menghakimi dengan serentetan prasangka-prasangkanya itu. Apalagi di dalam sebuah forum formal yang mana ada aturan main di dalamnya. Ini yang sangat disayangkan.

Perkembangan terakhir yang saya baca di media Eramuslim, kabarnya Pihak pendukung Umi Kaltsum mengklaim kelompoknya lah yang paling benar dan menganggap Umi Kaltsum perlu dibela dan didukung. Kabarnya ada 50 juta orang pendukung Umi Kaltsum. Pihak Siti Musdah Mulia? Tidak berbuat apa-apa, biasa saja. Karena hal tersebut bukan sesuatu yang harus diselesaikan dengan jalan adu kekuatan. Bukankah biasanya yang benar itu harusnya lebih tenang dan yang salah itu kasak-kusuk menggalang kekuatan?





Tuesday, March 22, 2011

Bicara Bangkok Love Story

Follow m_syahreza on Twitter

Baru sekali ini, gue nonton film yang di setiap 'part'nya punya chemistry kuat, mengaduk-aduk emosi di setiap durasinya, menguras segala macam rasa di setiap scene-nya...
Baru sekali ini, gue nonton film yang di semua detailnya indah, di setiap dialognya menyentuh, di bagian manapun semuanya menyiratkan pesan yang mendalam...
Baru sekali ini, gue terhanyut dalam derasnya drama romantis yang enggak vulgar dengan tanpa mengurangi nilai sensualitas dan erotikal sehingga semua seperti terasa normal, meski terkesan meletup-letup...
Gue suka! Gue jatuh cinta sama film ini... Bangkok Love Story, satu-satunya film yang gue nobatkan dengan 5 bintang!!! Sebuah film yang enggak hanya wajib ditonton, tapi diresapi, dimaknai dalam konstelasi ketulusan cinta yang utuh...

Wednesday, July 14, 2010

Main Dengan Sepupu Sendiri

Follow m_syahreza on Twitter

Kain Ratih tersingkap hingga menampakkan pahanya yang mulus, putih bersih. Tubuhnya basah seperti habis mandi. Dia sudah tidak peduli dengan keadaannya sekarang walau pun sesekali dia mengawasi keadaan sekitarnya, takut-takut ada orang yang mengintipnya sedang dalam keadaan setengah telanjang seperti ini.

Tanpa diduga-duga, tiba-tiba sosok Mbak Ningsih sudah ada di belakangnya. Langsung menyerbunya dengan membabi-buta, seolah tidak rela melepaskan Ratih yang terkejut setengah mati atas kelakukan kakak sepupunya itu. Tangan Mbak Ningsih gesit, dari sela-sela tubuh Ratih dia sudah bisa mengendalikan permainan. Sungguh lihai tangan Mbak Ningsih meremas dan memilin, sesekali dengan tenaga yang kuat hingga Ratih berteriak di luar kendali. Teriakan Ratih malah membuat Mbak Ningsih semakin nekat untuk berbuat lebih. Dibawah kucuran air,
Mbak Ningsih terus mencari-cari letak sesuatu yang tersembunyi yang bahkan Ratih pun tidak tahu di mana letaknya. Saat Mbak Ningsih menghentikan tangannya yang bergerilya di bawah sana, Ratih turut menahan nafasnya, menunggu apa yang akan diperlakukan Mbak Ningsih terhadap dirinya. Sepertinya Ratih sudah terlanjur menikmati semua ini. Rasa letihnya meski berangsur-angsur berkurang, tapi tidak terlihat jelas kepuasan di matanya. Ratih merasa kurang. Dia ingin lebih dari Mbak Ratih.

Ditariknya tangan Mbak Ningsih ke tempat yang semula tadi, seketika senyuman merekah dari bibir kecil Ratih. Wajahnya berbinar sumringah bersamaan dengan suara-suara nakal Ratih, terlebih waktu Mbak Ningsih menunjukkan noda spidol di kentong kemeja suaminya, Mas Danang.

“Ini lho, Tih, nodanya. Masa’ dari tadi kamu tidak melihatnya?” Mbak Ningsih beranjak dari tempatnya.

“Iya, Mbak, Aku tidak melihat, aku pikir sudah bersih semua,” sahut Ratih sambil tersipu malu.

“Iya, tidak apa-apa. Kamu selesaikan lagi mencucinya, habis itu keringkan dan jemur di belakang ya, Tih.”

Ratih mengangguk sambil mengulum senyumnya yang manis. Tangannya kembali mengucek kemeja putih yang ada noda spidol di bagian sakunya itu.

*jha2010

Rengkuhan Mas Danang

Follow m_syahreza on Twitter

Angin malam yang dingin menusuk tulang tidak menyurutkan gelora Ratih yang sudah menggebu-gebu. Nafas Ratih terengah-engah, di bawah kekuasaan sorot mata yang berkilat penuh nafsu Mas Danang, Ratih dengan wajah menggodanya membuka satu per satu kancing kebaya tipisnya yang sudah dibasahi keringat.

Mas Danang pun tidak kalah bernafsu. Dipegang erat pundak Ratih, mencengkeram penuh tenaga. Dengan sedikit memaksa Ratih membawanya ke ranjang. Mas Danang membantu melepas kebaya Ratih dengan agak kasar, dilemparnya kebaya biru Ratih ke atas lantai. Nafas mas Danang pun jadi semakin cepat. Dorongan dalam dirinya begitu besar, hingga ia seperti hilang kendali. Tubuh Ratih dicengkeram kuat dengan tangannya yang berotot itu. Dia semakin terbakar, sekujur tubuhnya kini juga bermandikan keringat. Pantulan cahaya lampu di luar kamar yang redup, membuat tubuh kekarnya berkilau menggairahkan. Darahnya berdesir cepat tiap kali melakukan gerakan-gerakan erotis itu terhadap Ratih.

Diperlakukan demikian, Ratih semakin keblingsatan. Ratih merintih kesakitan, tapi tidak berapa lama rintihannya berubah menjadi desahan nikmat. Ratih melenguh dengan suara manja khasnya itu, yang membuat Mas Danang semakin keras meneruskan permainannya. Dari bibir mungil Ratih yang berwarna merah mudah keluar erangan pasrah atas perlakuan Mas Danang.
Tubuh Ratih menggelinjang hebat, meliuk-liuk seperti ular dalam rengkuhan pria berkumis tipis itu. Sesekali dia menggit bibirnya, menahan rasa sakit.

“Sudah, Mas. Aku sudah tidak kuat lagi,” desah Ratih disela-sela nafasnya yang basah.

“Sebentar lagi, Ratih. Tahan ya, sedikit lagi,” bisik Mas Danang lembut di telinga Ratih.

“Tapi, Mas…” Ratih menutup matanya, manahan rasa sakit akibat permainan Mas Danang. “Aku… Aku… sudah merasa enakan, kok.”

Mas Danang menyudahi permainannya. “Kamu yakin, Ratih, sudah hilang masuk anginnya?”

Ratih mengangguk lemas. Senyum manisnya mengembang. “Mas Danang memang hebat. Besok-besok kalau aku masuk angin, Mas Danang kerok aku lagi ya?”

“Iya, Ratih.”

“Terima kasih, Mas Danang.”

*jha2010

Friday, July 2, 2010

Semua ‘Gara-gara Memperpanjang STNK’

Follow m_syahreza on Twitter


“... kemana aja, saya mau anter A' Ghaza. Kapan aja Aa butuh ditemenin, saya bersedia. Tapi jangan minta saya untuk suka sama perjalanan nasib saya yang sekarang baru ditemuin sama Aa..."


"Kalo gitu, ini kesalahan saya yang paling fatal, Pak. Terlalu jujur soal perasaan saya ke Bapak..."

Kutipan di atas diambil dari cerita panjang yang gue tulis tahun lalu dan di posting di sebuah forum komunitas yang judulnya “Gara-Gara Memperpanjang STNK (Inspired by True Event)”. Well, sebenernya yang melatari gue nulis cerita itu berangkat dari tantangan pribadi untuk menguji kemampuan menulis gue, di luar kebiasaan dan gaya nulis gue yang biasanya. Sebuah cerita bersambung, kisah percintaan sederhana aja sebenernya yang sedikit dibumbui gaya nakal ala stensilan berlatar sebuah tempat di pesisir Kabupaten Lebak-Banten.
Sejujurnya, enggak pernah sekali pun berharap cerita yang gue buat itu akan diminati dan dapet sambutan sedemikian di luar perkiraannya. Pertama posting aja banyak yang komentar-komentarnya bikin gue down dan enggak bersemangat nerusin ceritanya.

“Gara-gara Memperpanjang STNK” ini enggak bisa dikatakan sebagai kisah nyata atau diangkat berdasarkan pengalaman nyata penulisnya. Makanya, gue kasih penjelasan di belakang judulnya, “Inspired by True Event”, yang kira-kira maksud gue adalah bahwa cerita yang gue tulis ini merupakan perkawinan antara beberapa kejadian nyata yang bisa jadi satu sama lain enggak berhubungan tapi masih sejalan dari sudut pandang tema dengan imajinasi gue sendiri. Tokoh-tokohnya real, tapi waktu dan setting kejadian mengalami penyesuaian demi memenuhi tuntutan etika dan estetika penulisan. Mungkin itu dia sebabnya, kenapa gue dibilang lebay dan dianggap mengada-ada. Padahal sebenernya udah gue jelasin di pertengahan postingan cerita gue itu sebagai bentuk dari klarifikasi bahwa ada perbedaan antara ‘based on true story’ dengan ‘inspired by true event’, tapi masih aja masuk komentar-komentar sumbang entah itu dari forum langsung, tweet atau DM di Twitter. It’s okay, menurut gue itu merupakan kritikan membangun supaya gue jadi lebih baik lagi ke depannya. Tapi herannya, walaupun banyak yang berkomentar sumir, total ‘view’ thread gue justru tertinggi dibandingin cerita-cerita lain dan sampe gue posting blog ini belom ada yang menggeser posisi “Gara-gara Memperpanjang STNK”.

Ada yang lebih menyenangkan gue dari pengalaman posting cerita yang gue bikin itu di forum dari sekadar total ‘view’ tertinggi tersebut, yaitu gue nambah temen-temen baru yang baik, seru dan asyik-asyik. Honestly, tanpa mereka yang mengapresiasi karya gue, mungkin gue udah drop dan enggak bersemangat nulis cerita lagi. Mereka yang selalu menyemangati gue untuk terus berkarya, nulis dan nulis lagi. Dan mungkin untuk sementara, tulisan yang gue buat enggak kayak “STNK” lagi karena masih disibukkan dengan urusan-urusan lain. Paling-paling gue masih nulis di ‘notes’ Facebook, nge-tweet yang seru-seru, nge-blog atau update status yang sekiranya masih bisa dinikmatin lah sama mereka, penyemangat gue itu. Sebenernya, gue udah mempersiapkan cerita baru yang judulnya “Merah Muda Ibukota”. Pertama kali diposting, responnya lumayan positif, tapi sayang cerita ini memerlukan riset segala, jadinya gue belom berani posting lagi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, “Merah Muda Ibukota” udah bisa dipublish.

Satu lagi yang enggak gue sangka-sangka gara-gara si-STNK ini adalah ternyata cerita STNK ini bersama-sama dengan Merah Muda Ibukota, Meunasah Asmara dan Simulacrum akan dimasukin ke dalam sekuel novel “Siléncio Absoluto” yang insya Allah bisa cepet-cepet dicetak dan diterbitin ke pasaran. *Doanya, ya…*

Di samping itu, STNK jujur aja udah mengubah banyak hal dalam hidup gue. Tokoh-tokoh yang ada di dalamnya pun dalam kesehariannya mengalami perubahan juga. Yah, itulah hidup, senantiasa berubah. Harapannya, perubahan apa pun itu semoga perubahan ke arah yang lebih baik.

Ada yang lucu gara-gara gue nulis tentang STNK ini. Banyak pembaca yang tergila-gila sama beberapa tokoh di dalam cerita, bahkan ada yang sampe minta dikasih liat fotonya segala. Gue sampe kelimpungan juga nurutin permintaan para pembaca tersebut yang membanjiri Twitter gue. Akhirnya ada lah itu satu orang yang jadi favorit pembaca yang gue paksa untuk bikin akun di Twitter juga supaya bisa memenuhi permintaan-permintaan penggemarnya. Sayangnya, mungkin karena kesibukannya yang luar biasa, dia enggak bisa sepenuhnya ngejawab pertanyaan dan permintaan orang-orang. Lagian gue kasian juga, gue yang bawa-bawa nama dia, eh malah dia yang enggak tau apa-apa jadi ikut-ikutan repot.

Anyway, apapun itu, di sini gue mau ucapin terima kasih sebanyak-banyaknya buat yang udah rela sempet-sempetin baca, kasih komentar, saran dan kritik serta apresiasinya. Dalam waktu dekat, mudah-mudahan “Gara-gara Memperpanjang STNK” versi PDF yang udah diedit dan pastinya lebih rapi ketikan dan gaya tulisannya, akan rampung dan segera dibagi-bagi secara gratisan sebagai bentuk ucapan terima kasih gue. Iya, sekaligus ‘teaser’ lah buat novel gue .

Special thanks to Edu, Haris, Yoga dan nama-nama lain yang enggak mungkin kali disebutin satu per satu. Pokoknya, you rock Guys! *jha2010